KALSELMAJU.COM – “Brain rot” adalah istilah yang menggambarkan kondisi di mana pola pikir manusia menjadi instan, kehilangan kedalaman, dan semakin sulit untuk fokus pada bacaan atau diskusi yang lebih mendalam. Menurut Yousef et al. (2025) dalam jurnal Brain Sciences, otak yang terus-menerus terpapar konten dangkal dan stimulasi instan akan mengalami penurunan kapasitas. Ini berdampak dalam berpikir kritis, reflektif, dan kreatif.
Dalam sejarah, konsep brain rot pertama kali ditemukan dalam buku Walden (1854) karya Henry David Thoreau. Meskipun tidak menyebut istilah ini secara eksplisit, Thoreau mengkritik kehidupan modern, konsumerisme, dan distraksi. Ini mengalihkan manusia dari refleksi mendalam serta pengalaman bermakna. Kritiknya terhadap rutinitas dangkal dan materialisme tetap relevan hingga hari ini.
Kini, fenomena brain rot telah mencapai titik yang mengkhawatirkan. Kita sering kali terjebak dalam kebiasaan scrolling tanpa tujuan (zombie scrolling), serta mengonsumsi konten instan yang lebih menghibur ketimbang mendidik (doomscrolling). Dalam konteks agama dan spiritualitas, kita lebih sering mendapatkan ceramah agama melalui video satu menit. Atau, potongan ayat dan hadis di media sosial tanpa memahami konteksnya secara mendalam.
Tantangan Keberagamaan di Era Digital
Dari fenomena ini, muncul pertanyaan: Apakah kita benar-benar memahami agama dan spiritualitas secara utuh? Ataukah kita hanya mengonsumsi informasi yang sesuai dengan selera dan algoritma media sosial?
Ada beberapa tantangan utama yang perlu diperhatikan:
- Menurunnya Pemahaman Keagamaan yang Mendalam
Banyak orang lebih menyukai membaca kutipan singkat daripada menelaah kitab suci atau tafsir secara utuh. Akibatnya, pemahaman agama menjadi sepotong-sepotong dan rentan terhadap misinterpretasi. - Polarisasi Opini dan Filter Bubble
Menurut Pandya (2024) dalam Jurnal Ilmiah Ilmu Pendidikan, media sosial menciptakan echo chamber. Di sana pengguna hanya berinteraksi dengan informasi yang sejalan dengan keyakinan mereka. Hal ini menyebabkan diskusi keagamaan yang sehat semakin sulit. Itu karena setiap kelompok hanya ingin mendengar apa yang ingin mereka dengar. - Hilangnya Ruang Refleksi dan Kesabaran
Agama mengajarkan ketenangan, refleksi, dan pemikiran kritis. Namun, budaya digital membuat kita lebih impulsif, reaktif, dan kurang sabar dalam memahami ajaran agama.
Solusi Menghadapi Tantangan Ini
Lalu, bagaimana cara kita menghadapi tantangan ini agar tidak terjebak dalam brain rot yang mengikis pemahaman agama kita?
- Meningkatkan Literasi Digital
Literasi digital bukan sekadar kemampuan menggunakan teknologi, tetapi juga kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan informasi secara kritis. Kita harus lebih selektif dalam menyerap informasi agar tidak mudah terjebak hoaks atau pemahaman agama yang dangkal. - Membiasakan Membaca Sumber Asli
Jangan hanya mengandalkan kutipan dari media sosial. Luangkan waktu untuk membaca kitab suci, tafsir, dan kajian akademik yang lebih mendalam, tentunya dengan bimbingan ulama atau ahli agama. - Menyeimbangkan Kehidupan Maya dan Nyata
Dunia maya memang menawarkan akses luas ke informasi. Namun, jangan sampai menggantikan interaksi nyata dan refleksi spiritual kita. Diskusi langsung dengan komunitas atau ulama dapat memperkaya pemahaman agama. - Menerapkan Mindful Digital Consumption
Pilih dan kurasi dengan bijak akun-akun yang diikuti di media sosial. Pastikan akun tersebut memberikan edukasi terpercaya, mengajak berpikir kritis, dan mendorong refleksi mendalam.
Kesimpulan
Di era digital yang serba cepat, tantangan bagi keberagamaan bukan hanya soal bagaimana kita mengakses informasi. Tetapi juga bagaimana memilah dan memahaminya dengan bijak. Brain rot yang diakibatkan oleh budaya scrolling dan konsumsi konten instan dapat mengikis pemahaman agama yang mendalam. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memperkuat literasi digital, membaca sumber asli, menyeimbangkan dunia maya dan nyata, serta lebih selektif dalam menyerap informasi. Dengan demikian, kita tidak terjebak dalam pola pikir yang instan dan dangkal.
*Oleh: Najmi Fuady
[Dosen Universitas NU Kalsel & Sekretaris Rabithah Melayu Banjar]