KALSELMAJU.COM, BANJARMASIN – Tragedi berdarah yang terjadi pada Jumat, 23 Mei 1997, di Banjarmasin menjadi salah satu titik balik dalam sejarah akhir kekuasaan Orde Baru. Kerusuhan hebat pemicunya kampanye Partai Golkar yang berujung pada kehancuran kota dan jatuhnya ratusan korban jiwa.
Ratusan orang tewas, ribuan kehilangan pekerjaan, dan kota Banjarmasin berubah menjadi lautan api. Kerusuhan meletus usai iring-iringan massa kampanye Partai Golkar melintasi Masjid Noor, saat umat Islam tengah melaksanakan salat Jumat.
“Raungan motor saat jemaah belum selesai salat memicu kemarahan. Warga menyerbu, membubarkan kampanye, dan membakar atribut Golkar,” ujar sejarawan Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Mansyur, Senin (23/5/2024).
Amuk massa dengan cepat meluas. Penyerangan tidak hanya kepada peserta kampanye, tetapi juga kantor partai, rumah ibadah, pertokoan, hotel, hingga bangunan umum lainnya menjadi sasaran.
Data mencatat: 135 orang tewas, 164 orang dilaporkan hilang, lebih dari 100 orang luka-luka, dan 304 lainnya ditahan. Kerusuhan berlangsung dari pukul 13.00 hingga 20.00 WITA. Aparat keamanan terlihat kewalahan.
Sebanyak 21 mobil dan 60 motor terbakar, lebih dari 12 kantor serta puluhan tempat usaha luluh lantak.
Nurjanah (59), salah seorang saksi mata, mengenang detik-detik mencekam saat bersembunyi di sebuah kantor.
“Saya pakai baju kuning saat itu. Sangat takut karena disangka simpatisan. Untung ada yang menyelamatkan saya dengan memberi baju ganti,” ceritanya.
Tragedi ini menjadi penanda bahwa Kalimantan Selatan, yang selama ini relatif tenang, ikut bergolak. Tekanan terhadap pemerintahan Presiden Soeharto semakin kuat, seiring dengan kerusuhan serupa yang terjadi di ibu kota dan daerah lain.
Tepat setahun setelah peristiwa ini, pada 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri. Sebuah era berakhir.
“Peristiwa ini sangat membekas bagi masyarakat Kalimantan Selatan dan menjadi bagian penting dalam sejarah reformasi Indonesia,” tutup Mansyur.