Layakkah Banjarbaru jadi Kota Sehat?

oleh
oleh
Prof. Dr. Husaini, SKM., M.Kes
Latest Post
{"ticker_effect":"slide-v","autoplay":"true","speed":3000,"font_style":"normal"}

BANJARBARU sebagai kota idaman yang diharapkan menjadi kota sehat bagi penduduknya dan pengunjung lainnya, memiliki berbagai tantangan yang harus dihadapi.

Oleh: Prof. Dr. Husaini, SKM., M.Kes

Latest Post
{"ticker_effect":"slide-v","autoplay":"true","speed":3000,"font_style":"normal"}

Sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Selatan dan penyangga Ibu Kota Nusantara (IKN), Banjarbaru perlu memenuhi berbagai karakteristik kota sehat yang mencakup kualitas udara yang bersih, fasilitas kesehatan yang memadai, sarana pendidikan yang baik, lingkungan hidup yang berkualitas, serta kebijakan kawasan tanpa rokok (KTR). Selain itu, ketersediaan air bersih, makanan seimbang, dan kemampuan masyarakat dalam menghadapi bencana serta mengelola sumber daya juga menjadi indikator penting kota sehat.

Salah satu isu strategis yang perlu mendapatkan perhatian adalah tingginya kasus gizi buruk pada balita di Banjarbaru. Berdasarkan data dari Kemenkes RI-SKI 2023, sekitar 44,7% balita di kota ini mengalami masalah gizi, termasuk stunting, wasting, underweight, dan overweight.

Kondisi ini menggambarkan bahwa dari dua balita, satu di antaranya mengalami masalah gizi. Jika tidak segera ditangani secara komprehensif, gizi buruk pada balita dapat berdampak serius pada pertumbuhan fisik, kemampuan kognitif, kesehatan umum, serta kemampuan sosial dan emosional anak.

Selain itu, rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif pada bayi di Banjarbaru juga menjadi perhatian. Berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Kota Banjarbaru Tahun 2023/2024, hanya sekitar 44% bayi yang menerima ASI eksklusif selama 0-6 bulan, jauh di bawah target nasional sebesar 80%. Dampak dari tidak diberikannya ASI eksklusif dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik, kesehatan, dan kemampuan kognitif bayi, serta meningkatkan risiko berbagai penyakit di kemudian hari.

Implementasi kawasan tanpa rokok (KTR) juga masih rendah di Banjarbaru. Dari 52 sekolah yang dipantau, hanya 32 sekolah atau 61,54% yang telah menerapkan KTR. Kondisi serupa juga terjadi di tempat bermain anak dan instansi pemerintah, di mana cakupan KTR belum mencapai 100%. Kurangnya implementasi KTR dapat meningkatkan risiko penyakit paru-paru, kanker, dan penyakit jantung, serta menambah polusi udara yang merugikan kesehatan masyarakat.

Rendahnya cakupan imunisasi tetanus dan difteri (Td) pada wanita usia subur (WUS) di Banjarbaru juga menjadi masalah serius. Cakupan Td5 hanya mencapai 0,1% untuk WUS yang tidak sedang hamil. Risiko infeksi tetanus dan komplikasi kesehatan lainnya dapat meningkat jika cakupan imunisasi Td tidak segera ditingkatkan.

Untuk menjadikan Banjarbaru sebagai kota sehat, pemerintah daerah perlu mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah gizi buruk pada balita, meningkatkan cakupan ASI eksklusif, memperluas implementasi kawasan tanpa rokok, serta memastikan cakupan imunisasi Td pada WUS meningkat.

Dengan pendekatan yang komprehensif dan berkelanjutan, diharapkan Banjarbaru dapat memenuhi kriteria sebagai kota sehat yang ideal bagi penduduknya.

Latest Post
{"ticker_effect":"slide-v","autoplay":"true","speed":3000,"font_style":"normal"}

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *