Penulis : Azhari F. Fahmi
[Anggota KPU Kota Banjarmasin: Kadiv Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat, dan Sumber Daya Manusia]
BEBERAPA waktu lalu, melalui panggilan video saya dihubungi kawan masa kecil saya yang saat ini sedang menyelesaikan Program S3 nya di Belanda dan sebentar lagi akan pulang ke Banjarmasin.
Panjang lebar kami bertukar cerita mengenai pekerjaan dan keluarga hingga akhirnya dia pun menyinggung kabar konstelasi politik di Banua yang akan melaksanakan Pilkada.
Rupanya, teman saya ini masih kerap memantau perkembangan politik di Banua meski sedang merantau ke Benua lain. Dalam kesempatan itu, dia berkelakar hendak golput saja karena mengeluhkan kandidat-kandidat pemimpin yang mulai muncul di media yang dia anggap belum layak menduduki jabatan prestisius itu di Banua.
Golput merupakan akronim dari “golongan putih,” istilah ini mula-mula lahir di era Orde Baru sebagai bentuk protes politik terhadap rezim yang dianggap semena-mena dan tidak adil. Dalam terminologi yang lebih khusus, adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sebuah sikap tidak memilih calon manapun pada pemilu atau pemilukada.
Bagi sebagian mereka yang memilih jalan ini, golput adalah bentuk kritik dan ketidakpuasan terhadap sistem politik atau kandidat yang ada. Pada tataran ekspresi berpendapat, memang hal ini tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Namun jika sikap golput dianggap satu-satunya bentuk kritik yang ideal, saya rasa kurang tepat karena sikap ini seperti lari dari satu masalah untuk menuju ke masalah-masalah berikutnya. Golput menutup pintu suara alternatif yang bisa membawa perubahan.
Justru, partisipasi aktif dalam pemilihan umumlah yang akan lebih efektif untuk memperjuangkan aspirasi dan harapan masyarakat, terutama pemilih muda atau generasi milenial yang memiliki potensi besar untuk membawa transformasi dalam tatanan politik dan kepemimpinan di Indonesia khususnya di Kota Banjarmasin.
Indonesia akan menggelar pemilihan kepala daerah serentak pada 27 November 2024 nanti, termasuk di Banua kita, Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Partisipasi pemilih muda memiliki potensi sangat besar untuk menentukan arah masa depan daerah nantinya. Namun sayang, masih ada pemilih muda seperti kawan saya tadi yang cenderung skeptis dengan para calon pemimpin dan memutuskan untuk golput. Padahal, sikap tersebut justru dapat membahayakan bangsa dan mengancam demokrasi.
Pemilih muda harus sadar bahwa peran mereka sangat penting dan menghindari sikap golput. Dari informasi terkini KPU RI yang dilansir dari antaranews.com pada tanggal 31 Agustus 2023, aka nada sekitar 107 juta pemilih muda yang memenuhi ketentuan berumur antara 17- 40 tahun pada pemilu 2024 di Indonesia. Bila dihitung dengan total jumlah pemilih yang telah memiliki hak pilihnya di seluruh Indonesia, maka pemilih muda berada di kisaran 53-55%. Sebelumnya, Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 8-13 Agustus 2022 lalu melansir hasil penelitiannya yang mengungkapkan bahwa pemilih muda di Indonesia memiliki kecenderungan peduli terhadap isu-isu seperti keadilan sosial, lingkungan hidup, dan hak asasi manusia dibandingkan generasi di atasnya.
Jika pemilih muda memilih untuk golput dalam pemilihan mendatang, akan ada dampak negatif yang akan berpotensi naik ke permukaan. Pertama, menurunnya representasi pemilih muda dalam pemilihan. Dampaknya tentu signifikan, yakni kelompok pemilih muda tidak memiliki perwakilan yang dapat bertarung dalam pengambilan keputusan politik dan kebijakan publik.
Kedua, pemilih muda yang memilih golput juga dapat melahirkan ketidakseimbangan dalam pengaruh politik. Pemilih muda memiliki potensi besar untuk mendorong perubahan dan mengangkat isu-isu penting yang mereka inginkan dan butuhkan di generasi mereka. Namun, jika mereka memilih golput, maka pihak-pihak lain yang mungkin tidak memperhatikan kepentingan pemilih muda ini dapat dengan mudah mendominasi penentuan kebijakan dan arah politik.
Dampak ketiga adalah penurunan ketertarikan dan partisipasi politik generasi muda secara keseluruhan. Anak-anak muda cenderung memiliki ikatan yang kuat dengan teman-teman sebayanya, ketika anak muda dihadapkan kepada sikap politik, hal itu juga akan turut serta dipengaruhi oleh teman sebayanya. Ketika pemilih muda melihat bahwa rekan mereka tidak aktif dalam pemilihan, hal ini dapat mempengaruhi motivasi dan kesadaran politik mereka sendiri. Akibatnya, pemilih muda cenderung kurang berpartisipasi dalam proses politik dan hal ini tentu sangat membahayakan iklim demokrasi di negara serta daerah.
Oleh karena itu, penting bagi pemilih muda untuk menyisir kembali betapa pentingnya partisipasi politik mereka dengan menggunakan hak pilih dalam pemilihan yang akan berlangsung pada tanggal 27 November 2024 nanti.
Pertama, kita harus sadari bahwa tiada kandidat yang sempurna, maka menggunakan hak pilih dengan baik adalah langkah untuk memilih pemimpin yang terbaik dari yang lain, sehingga setiap suara dapat menjadi langkah kecil menuju perubahan positif.
Kedua, pemimpin yang terpilih memiliki kekuatan untuk membuat kebijakan yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari kita, dan dengan berpartisipasi, kita bisa membantu memilih pemimpin yang mendekati aspirasi dan kebutuhan kita. Dan ketiga, memilih adalah bagian dari tanggung jawab kita sebagai warga negara dalam sistem demokrasi dan ini adalah kontibusi nyata kita untuk perbaikan sistem politik dari dalam.
Dengan terlibat langsung dalam pemilihan, pemilih muda memiliki kesempatan untuk membentuk perubahan yang mereka inginkan dan memastikan agar suara mereka didengar dan diwakili dalam pengambilan keputusan politik. Mari berpartisipasi aktif dan menentukan pilihan kita pada pemilihan kepala daerah 27 November 2024 nanti untuk memperjuangkan keadilan dan kemakmuran bagi daerah-daerah kita.***